Jumat, 25 November 2011

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 33 TAHUN 2006
TENTANG
PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA
MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa secara geografis Indonesia rawan
bencana yang disebabkan oleh alam dan ulah
manusia yang berpotensi menimbulkan korban
jiwa, pengungsian, kerugian harta benda, dan
kerugian dalam bentuk lain yang tidak ternilai,
sehingga perlu dilakukan upaya untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan melalui
kegiatan mitigasi bencana;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan
menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
2
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4548);
2. Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Departemen sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 37 Tahun 2001 tentang
Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden
Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenanganm Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen;
3. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005
tentang Badan Koordinasi Nasional
Penanganan Bencana;
4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130
Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen;
5. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131
Tahun 2003 tentang Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi di Daerah;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
TENTANG PEDOMAN UMUM MITIGASI
BENCANA
3
Pasal 1
Kegiatan Mitigasi Bencana di daerah dilaksanakan untuk mengetahui
potensi bencana yang ada disuatu daerah dan melakukan upaya
antisipasi penanganannya.
Pasal 2
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan mitigasi bencana dilakukan
secara berjenjang melalui struktur kelembagaan Satuan Koordinasi
Pelaksana Penanganan Bencana, Satuan Pelaksana Penanganan
Bencana, Unit Operasi Penanganan Bencana dan Kepala Desa/Lurah.
Pasal 3
(1) Gubernur selaku Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana
Penanganan Bencana bertanggung jawab mengkoordinasikan
kegiatan organisasi struktural dan non struktural dalam
pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
provinsi.
(2) Bupati/Walikota selaku Ketua Satuan Pelaksana Penanganan
Bencana bertanggungjawab mengkoordinasikan, memimpin dan
mengendalikan kegiatan organisasi struktural dan non struktural
dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
Kabupaten/Kota.
(3) Camat selaku ketua Unit Operasi Penanganan Bencana
bertanggungjawab mengkoordinasikan kegiatan organisasi
struktural dan non struktural serta masyarakat dalam pelaksanaan
pedoman umum mitigasi bencana di wilayah kecamatan.
(4) Kepala Desa/Lurah bertanggung jawab mengkoordinasikan dan
mengendalikan kegiatan masyarakat dalam pelaksanaan
pedoman umum mitigasi bencana di wilayah Desa/Kelurahan.
4
Pasal 4
Kegiatan Mitigasi Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
disusun dalam Pedoman Umum Mitigasi Bencana yang tercantum
dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 5
Biaya Pelaksanaan Pedoman Umum Mitigasi Bencana dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2006

Jumat, 18 November 2011

Langkah Sepi Dalam Kesetiaan


Sendiri dalam ruang gelap
sepi tapi tidak sekedar sepi
seluruh ruang ini benar-benar sunyi
ku tatap langit kamar terlihat gelap tanpa penerangan
ku lihat kelip cahaya yang teduh disatu titik pandang
pikiranku melayang ke awang-awang
turun namun tetap sendiri
kemana sebanarnya penghuni dunia ini?
aku merasa selalu sendiri
aku berjalan menelusuri tapak yang sudah ada
entah jejak siapa yang ku pijak kini
semakin juah semakin terasa ada kesejukan kini
ternyata sepi dan sendiriku
jauh lebih nikmat dari sekedar roti keju
semakin ke dalam semkin terasa apa arti sendiriku kini
walau sepi dan sunyi ada denting yang berbunyi
setiap langkahku ada makna yang terukir
setiap waktuku ada kata yang tertulis
sebuah arti dalam langkahku
tentang kesetiaan untukmu

=================================================================
Oleh :
 http://sukmane.blogspot.com/2011/06/sendiri-dalam-ruang-gelap-sepi-tapi.html
 =========================================================================

Kamis, 10 November 2011

UU NO 24 TAHUN 2007 PENANGGULANGAN BENCANA


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung
jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan
termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan
Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki
kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang
memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan
oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia
yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat
pembangunan nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan
landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak
sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan
kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya
penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi,
dan terpadu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan kuruf c perlu membentuk
Undang-Undang ten-tang Penanggulangan Bencana;
Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN MKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
rnengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
danlatau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Benca-na alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara kin berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dm rehabilitasi.
6. Kegiatan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan
dan/ atau mengurangi ancaman bencana.
7. Icesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
8. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang benvenang.
9. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan denga.n segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.
11. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat
pada wilayah pascabencana.
12. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
13. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa
yang bisa menimbulkan bencana.
14. Rawan . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
14. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis,
biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk
jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu.
15. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup
yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan
apaya rehabilitasi.
16. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
17. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu
tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, lcerusakan
atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
18. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat
keadaan darurat.
19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan
yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktu
tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas
untuk menanggulangi bencana.
20. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa
atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk ' jangka
waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk
bencana,
2 1. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang,
dan/atau badan hukum.
22. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
23. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24. Pemerintah . . .
PRESIDEN
HEPUBLIK INDONESIA
24. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/ walikota, atau
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
25. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat
berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjalankan jerris usaha tetap dan terus menerus yang
bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
26. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalarn
lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan
lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar
Perserikatan Bingsa-Bangsa.
BAB I1
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup; dan
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal2, yaitu:
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi . . .
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. kemitraan;
g. pemberdayaan;
h. nondiskriminatif; dan
i. nonproletisi.
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
ancaman bencana;
b. menyelaraskan peraturan pemndang-undangan yang sudah
ada;
c . menj amin terselenggaranya penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan
g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
BAB 111
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Pemerintah dan pernerintah daerah menjadi penanggung jawab
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan;
b. perlindungan . . .
.' .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan
standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana 'dalam
bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari
ancaman dan dampak bencana.
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras
dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang
memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan
bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan
daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan
bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihakpihak
internasional lain;
e, perurnusan kebijakan tentang penggunaan teknologi
yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya
bencana;
f. perurnusan kebijakan mencegah penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi
kemampuan alam untuk melakukan pernulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau
barang yang berskala nasional.
(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat
indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dm sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
(3) Ketentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan
tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Presiden.
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan
minimum;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.
Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada
wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang mernasukkan
unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan
bencana dengan provinsi dan/ atau kabupaten / kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan
alam pada wilayahnya; dan
f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau
barang yang berskala provinsi, kabupatenl kota.
BAB IV . .
PUESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB IV
KELEMBAGWN
Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Pasal 10
(1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen setingkat menteri.
Pasal 11
Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.
Pasal 12
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:
a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penangannn tanggap damrat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan I;enyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal
dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan
sumbangan/ bantuan nasional dan internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. melaksanakan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah.
Pasal 13
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi
meliputi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan pcnanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
b. pengoordinasian pcbksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Pasal 14
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 1 huruf a mempunyai fungsi:
a. merumuskan konsep kebijakan penanggulangan
bencana nasional;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia,
Pasal 15
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan
kewenangan Pemerintah.
(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(3) Keanggotaan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas tenaga profesional dan ahli.
Pasal 16
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b, unsur pelaksana penanggulangan bencana
mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas,
struktur organisasi, dan tata kerja Badan Nasional
Penanggulangan Bencana diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Pasal 18
(1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Badan Penanggulangan Bencana Dacrah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang
pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat
eselon Ib; dan
b. badan pada tingkat kabupatenl kota dipimpin oleh
seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau
setingkat eselon IIa.
Pasal 19
( 1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.
(2) Pembentukan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas:
a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan
kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan
darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan
setara;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan
penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan
bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada wilayahnya;
f, melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan setiap saat dalarn kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan
barang;
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
dan
i. melaksanakan . . .
PRESIDEN
HEPUBLIK INDONESIA
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a
mempunyai fungsi:
a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan
penanggulangan bencana daerah;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana daerah.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah daerah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional dan ahli.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
huruf b merupakan kewenangan pemerintah daerah.
(2) Unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dai~
c. pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana pads wilayahnya.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana penanggulangan bencana
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (I) terdiri atas
tenaga profesional dan ahli.
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (2), unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah
mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas,
struktur organisasi, dan tata kerja Badan Penanggulangan
Bencana Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
(1) Setiap orang berhak:
a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman,
khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana..
c . mendapatkan informasi secara tertulis dan/ atau lisan
tentang kebijakan penanggulangan bencana.
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam peng&nbfian keputusan terhadap
kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang
berkaitan dengan diri dan komunitasnya; darl
f, melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang
diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.
(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.
(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian
karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan
konstruksi.
Bagian Kedua . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan
c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang
penanggulangan bencana.
BAB VI
PERAN LEMBAGA USAHA
DAN LEMRAGA INTERNASIONAL
Bagian Kesatu
Peran Lembaga Usaha
Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara
tersendiri maupun secara bersnma dengan pihak lain.
(1) Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan
kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan
kepada pemerintah clanlatau badan yang diberi tugas
melakukan penanggulangan bencana serta
menginformasikannya kepada publik secara transparan.
(3) Lembaga usaha berkewajiban mengindahkan prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya
dalam penanggulangan bencana.
Bagian Kedua . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kedua
Peran Lembaga Internasional
(1) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah
dapat ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana
dan mendapat jaminan pelindungan dari Pemerintah
terhadap para pekerjanya.
(2) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah
dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
secara sendiri-sendiri, bersama-sama, dan/ atau bersama
dengan rnitra kerja dari Indonesia dengan memperhatikan
latar belakang sosial, budaya, dan agama masyarakat
setempat.
(3) Ketentuan lebih lanjut rnengenai pelaksanaan kegiatan
penanggulangan bencana oleh lembaga internasional dan
lembaga asing noilpemerintah diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN
BENCANA
Bagian Kesatu
Umum
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan
berdasarkan 4 (empat) aspek meliputi:
a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
b. kelestarian lingkungan hidup;
c. kernanfaatan dan efektivitas; dan
d. lingkup luas wilayah.
Pasal 32 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(1 1 Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
Pemerintah dapat:
a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah
terlarang untuk pernukiman; dan/ atau
b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh llak
kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau
dikurangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Tahapan
Pasal 33
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga)
tahap meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana,
Paragraf Kesatu
Prabencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan
prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a
meliputi:
a. dalam situasi tidak tesjadi bencana; dan
b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
PHESIDEN
REPUBhlK INDONESIA
Pasal 35
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak
terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
(1) Perencanaan ' penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalaxn Pasal 35 huruf a ditetapkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Badan.
(3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data
tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu
tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program
kegiatan penanggulangan bencana.
(4) Pererlcanaan penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c. analisis kemungkinan dampak bencana;
d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan
dampak bencana; dan
f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang
tersedia.
(5) Pemerintah
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(5) Pemeriatah dan pemerintah daerah dalam waktu tertentu
meninjau dokumen perencanaan penanggulangan bencana
secara berkala.
(6) Dalam usaha ' menyelaraskan kegiatan perencanaan
penanggulangan bencana, Pemerintah dan pemerintah
daerah dapat mewajibkan pelaku penanggulangan bencana
untuk melaksanakan perencanaan penanggulangan
bencana.
(1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf b dilakukan untuk mengurangi dampak
buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam
situasi sedang tidak terjadi bencana.
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan
bencana; dan
e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan
penanggulangan bencana.
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c
meliputi:
a. identifikasi dan pe~genalan sccara pasti terhadap sumber
bahaya atau ancaman bencana;
b. kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan surnber daya
alam yang secara tiba-tiba danlatau berangsur berpotensi
menjadi sumber bahaya bencana;
c. pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba
dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman
atau bahaya bencana;
d. penataan nlang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
e. penguatan ketahanan sosial masyarakat.
Pasal 39
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d
dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana
penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat
dan daerah.
(1) Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (3) ditinjau secara berkala.
(2) Penyusunan rencana penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Badan.
(3) Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis
risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan
bencana sesuai dengan kewenangannya.
Pasal LC 1
(1) Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf e disusun dan ditetapkan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana.
(2) Pemenuhan syarat analisis risiko bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dalam dokumen yang
disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai deilgan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Badan Nasional Penanggulangan Bencana melakukan
pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan analisis risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(1) Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf f dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup
pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar
keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar,
(2) Pemerintah . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pemerintah secara berkala rnelaksanakan pemantauan dan
evaluasi terhadap pelaksanaan tata ruang dan pemenuhan
standar keselamat.an.
Pendidikan, pelatihan, dan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf g clan h dilaksa.nakan dan ditetapkan oleh Pemerintah
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi
terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf b meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.
(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
huruf a dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan
tepat dalam menghadapi kejadian bencana.
Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan
kedaruratan bencana;
b. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem
peringatan dini;
c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan
kebutuhan dasar;
d. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi
tentang mekanisme tanggap darurat;
e. penyiapan lokasi evakuasi;
f. penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran
prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan
untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
Pasal 46 . . .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
(1) Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
huruf b dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan
tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena be~lcana
serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
(2) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengamatan gejala bencana;
b. analisis hasil pengamatan gejala bencana;
c. pengambilan keputusan oleh pihak yang benvenang;
d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana;
dan
e. pengambilan tindakan oleh masyarakat.
(1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pelaksanaan penataan ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur,
tata bangunan; dan
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan
baik secara konvensional maupun modern.
Paragraf Kedua
Tanggap Darurat
Psnyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b
meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. pelindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. pernulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi:
a. cakupan loltasi bencana;
b. jumlah korban;
c . kerusakan prasarana dan sarana;
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta
pemeri.ntahan; dan
e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
Dalam ha1 status keadaan darurat bencana ditetapkan,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan badan
penanggulangan bencana daerah mempunyai kemudahan
akses yang meliputi:
a. pengerahan sumber daya rnanusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, darl karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barangljasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang danlatau
barang;
h. penyelamatan; dan
i. komando untuk memerintahkan sektorllembaga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses
sebagairnana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(1) Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh
pemerintah sesuai dengan skala bencana.
(2) Penetapan . , .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi
dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupatenl kota
dilakukan oleh bupati/waliksta.
Penyelamatan dan evakuasi korban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf c dilakukan dengan memberikan
pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang
terjadi pada suatu daerah melalui upaya:
a pencarian dan penyelamatan korban;
b. pertolongan danirat; dan/ atau
c. evakuasi korban.
Pasal 53
Pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal48 huruf d meliputi bantuan penyediaan:
a. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
b. pangan;
c, sandang;
d. pelayanan kesehatan;
e . pelayanan psikososial; dan
f. penampungan dan tempat hunian.
Pasal 54
Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana
dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan
pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
(1) Pelindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf e dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial.
(2) Kelompok . . .
PRESIDEN
REPWBLIK INDONESIA
(2) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. bayi, balita, dan anak-anak;
b. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
c. penyandang cacat; dan
d. orang lanjut usia.
Pemulihan fungsi prasarana dan sarana vital sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf f dilakukan dengan
memperbaiki danlatau mengganti kerusakan akibat bencana.
Paragraf Ketiga
Pascabencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap
pascabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c
meliputi:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.
(1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a
dilakukan melalui kegiatan:
a. perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. perbaikan prasarana dan sararla umum;
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. pemulihan sosial psikologis;
e. pelayanan kesehatan;
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g. pemulihan sosial ekonomi budaya;
h . pemulihan keamanan dan ketertiban;
i. pemulihan fungsi pemerintahan; dan
j . pemulihan fungsi pelayanan publik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 59 . . .
(I) Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf
b, dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih
baik, meliputi:
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kernbali sarana sosial masyarakat;
c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya
masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan
peralatan yang lebih baik dan tahan bencana;
e. partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
PENDANAAN DAN PENGELOLAAN
BANTUANBENCANA
Bagian Kesatu
Pendanaan
(1) Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab
bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari
masyarakat. .
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan
anggaran penanggulangan bencana secara memadai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, huruf f dan
Pasal8 huruf d.
(2) Penggunaan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 27 -
(2) Penggunaan anggnran penanggulangan bencana yang
memadai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya.
(1) Pada saat tanggap darurat, Badan Nasional
Penanggulangan Boncana menggunakan dana siap pakai
sebagaimana dirnaksud dalam Pasal6 huruf f.
(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disediakan oleh Pemerintah dalam anggaran Badan
Nasional Penanggulangan Bencana.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan dana
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 sampai dengan Pasal 62 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dana untuk kepentingan penanggulangan bencana yang
disebabkan oleh kegiatan keantariksaan yang menimbulkan
bencana menjadi tanggung jawab negara peluncur dan/atau
pemilik sesuai dengan hukum dan perjanjian internasional.
Bagian Kedua
Pengelolaan Bantuan Bencana
Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi
perencanaan, penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan
pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan
nasional maupun internasional.
Pasal 66 . . .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah melakukan pecgelolaan sumber daya bantuan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 pada semua tahap
bencana sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pada saat tanggap darurat bencana, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana mengarahkan penggunaan sumber
daya bantuan bencana yang ada pada semua sektor terkait.
Tata cara pemanfaatan serta pertanggungjawaban penggunaan
sumber daya bantuan bencana pada saat tanggap darurat
dilakukan secara khusus sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan
kondisi kedaruratan.
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan
santunan duka cita dan kecacatan bagi korban bencana.
(2) Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat
diberi pinjaman lunak untuk usaha produktif.
(3) Besarnya bantuan santunan duka cita dan kecacatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pinjaman lunak
untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah.
(4) Tata cara pemberian dan besarnya bantuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan
bantuan.
Pasal 70 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal65 sampai dengan Pasal69 dilaksanakan
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
BAB IX
PENGAWASAN
(1) Pemerintah dan penierintah daerah melaksanakan
pengawasan terhadap selumh tahap penanggulangan
bencana.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. kebijakan pernbangunan yang berpotensi menimbulkan
bencana;
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan
bencana;
d. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
e. kegiatan konservasi lingkungan;
f. perencanaan tata ruang;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. kegiatan reklarnasi; dan
i. pengelolaan keuangan.
(1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap laporan upaya
pengumpulan sumbangan, Pemerintah dan pemerintah
daerah dapat meminta laporan tentang hasil pengumpulan
sumbangan agar dilakukan audit.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah dan masyarakat dapat meminta agar dilakukan
audit.
(3) Apabila hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditemukan adanya penyimpangan penggunaan terhadap
hasil sumbangan, penyelenggara pengumpulan sumbangan
dikenai sanksi sesuai dengan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 73 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESlA
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 1 dan Pasal
72 dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan,
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 74
(1) Penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada tahap
pertama diupayakan berdasarkan asas musyawarah
mufakat.
(2) Dalam ha1 penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diperolch kesepakatan, para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau
melalui pengadilan.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan
pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan I
analisis risiko bencana se'bagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (3) yang mengakibatkan terjadinya bencana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah). I
(2) Dalam ha1 tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibztkan timbulnya kerugian harta benda atau
barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) taliun atau paling lama 8 (delapan) tahun
dan denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus
ju ta rupiah) atau denda paling banyak Rp3.000.000..000,00
(tiga miliar rupiah).
(3) Dalam . . .
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Dalam ha1 tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(1) Dalam ha1 tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2) DaIam ha1 tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dilakukan karena kesengajaan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan)
tahun atau paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
(3) Dalam ha1 tindak pidana sebagairnana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (3) dilakukan karena kesengajaan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) tahun atau paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan
akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 78 . . .
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan
pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).
(1) Dalam ha1 tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 sampai
dengan Pasal78.
(2) Selain pidana denda sebagairnana dimaksud pada ayat (I),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. pencabutan status badan hukum.
, BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat berlakunya undang-undang ini semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan
bencana dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertenthgan
atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru
berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 8 1 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Semua program kegiatan berkaitan dengan penanggulangan
bencana yang telah ditetapkan sebelum ditetapkannya undangundang
ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa
berlakunya berakhir, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan
Perundang-undangan.
(1) Sebelum Badan Nasional Penanggulangan Bencana
dibentuk, Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
tetap dapat melaksanakan tugasnya.
(2) Setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk,
Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
dinyatakan dibubarkan.
BAB XI11
KETENTUAN PENUTUP
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lambat 6
(enam) bulan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah
terbentuk dan badan penanggulangan bencana daerah paling
lambat 1 (satu) tahun sudah terbentuk.
Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang ini
harus sudah diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
diundangkannya undang-undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 66
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
dan Kesejahteraan Rakyat,
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIM INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
I. UMUM
Alenia ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dar. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
' kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
Sebagai implementasi dari amanat tersebut dilaksanakan pembangunan
nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera
yang senantiasa memperhatikan hak atas penghidupan dan perlindungan
bagi setiap warga negaranya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan
terletak digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua
samudra dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun
dipihak lain posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap
terjadinya bencana dengan frekwensi yarlg cukup tinggi, sehingga
memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi.
Potensi penyebab bencana diwilayah negara kesatuan Indonesia dapat
dikelompokan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alarn, bencana
nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan
guriung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/
lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah,
kejadian luar biasa, dan kejadia-n antariksa/ benda-benda angkasa.
Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/ lahan yang disebabkan
oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan ltonstruksi/ teknologi,
dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan
keantariksaan.
Bencana . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial
dalam masyarakat yang sering terjadi.
Penanggulangan bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan
nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum,
pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Selama ini masih
dirasakan adanya kelemahan baik dalam pelaksanaan penanggulangan
bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya, karena belum
ada undang-undang yang secara khusus menangani bencana.
Mencermati hal-ha1 tersebut diatas dan dalam rangka memberikan
landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan penanggulangan
bencana, disusunlah Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana
yang pada prinsipnya merlgatur tahapan bencana meliputi pra bencana,
saat tanggap darurat dan pasca bencana.
Materi muatan undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok
sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab
dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan
secara terencana, terpzdu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap
darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Badan penanggulangan bencana tersebut terdiri dari unsur
pengarah dan unsur pelaksana. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai
tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan
penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu sesuai dengan
kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan
sosial, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga
internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra
bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masingmasing
tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain
didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana siap
pakai dengan pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan beilcana
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada
setiap tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan da1a.m
penggunaan dana penanggulangan bencana.
8. ' Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan sekaligus
memberikan efek jera terhadap para pihak, baik karena kelalaian
maupun karena kesengajaan sehingga menyebabkan terjadinya
bencana yang menimbulkan kerugian, baik terhadap harta benda
maupun matinya orang, menghambat kemudahan akses dalam
kegiatan penanggulangan bencana, dan penyalahgunaan pengelolaan
sumber daya bantuan bencana dikenakan sanksi pidana, baik pidana
penjara maupun pidana denda, dengan menerapkan pidana minimum
dan maksimum.
Dengan materi muatan sebagaimana disebutkan diatas, Undang-Undang ini
diharapkan dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalanl
penyelenggaraan penanggulangan bencana sehingga penyelenggaraan
penanggulangan bencana dapat dilaksanakan secara terencana,
terkoordinasi, dan terpadu.
11. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal. 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" termanifestasi
dalam penanggulangan bencana sehingga undang-undang
ini memberikan pelindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia, harkat $an martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf b . . .
PRESIDEN
REPUGLIK INDONESIA
Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
harus mencerminkan keadilan secara proporsionai bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan" adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi
hal-ha1 yang membedakan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan" adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keseimbangan kchidupan sosial dan
lingkungan.
Yang dimaksud .dengan "asas keselarasan" adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan "asas keserasian" adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mer~cerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial
masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian
hukum" adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah bahwa
penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan
tanegung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang VC
dilakukan secara gotong royong.
Huruf g . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas kelestarian lingkungan hidup"
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
pe~anggulangan bencana mencerminkan kelestarian
lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi
yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas ilmu pengetahuan dan
teknologi" adalah bahwa dalam penanggulangan bencana
harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada
saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "prinsip cepat dan tepat" adalah
bahwa dalam penanggulangan bencana hams dilaksanakan
secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "prinsip prioritas" adalah bahwa
apabila terjadi bencana, lcegiatan penanggulangan harus
mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan
penyelamatan jiwa manusia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "prinsip koordinasi" adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang
baik dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan "prinsip keterpaduan" adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada keja sama yang baik
dan saling mendukung.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "prinsip berdaya guna" adalah bahwa
dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan
tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
Yang . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Yang dimaksud dengan "prinsip berhasil guna" adalah bahwa
kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,
khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan
tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "prinsip transparans?' adalah bahwa
penanggulangan bencan-a - dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan "prinsip akuntabilitas" adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "prinsip nondiskriminasi" adalah
bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin,
suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "nonproletisi" adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan
darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan
pelayanan darurat bencana.
Pasal4
Cukup jelas.
Pasal5
Yang dimaksud dengan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi
bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Pasal6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan dana "siap pakai" yaitu dana yang
dicadangkan oleh pemerintah untuk dapat dipergunakan
sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
"Pengendalian" dalam Pasal ini dimaksudkan sebagai
pengawasan terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang
atau barang berskala nasional yang diselenggarakan oleh
masyarakat, termasuk pemberian ijin yang rnenjadi
kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat ( 3 ) . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal8
Cukup jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup j elas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
"Pengendalian" dalam Pasal ini dimaksudkan sebagai pengawasan
terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang
berskala provinsi, kabupatenl kota yang diselenggarakan oleh
masyarakat, termasuk pemberian ijin yang mcnjadi kewenangan
gubernurl bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 10
Cukup j elas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (2)
Unsur Pengarah terdiri atas unsur pemerintah dan unsur
masyarakat profesional dalarn jumlah yang seimbang dan
proporsional.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi koordinasi adalah melakukan
koordinasi pada tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan
yang dimaksud dengan fungsi komands dan pelaksana adalah
fungsi yang dilaksanakan pada saat tanggap darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Keanggotaan unsur pengarah mengacu pada keanggotaan
unsur pengarah pada Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal20
Cukup j elas.
Pasal2 1
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup j elas.
Huruf g
Pengendalian dalam ketentuan ini termasuk pemberian izin
pengumpulan uang dan barang yang dilakukan oleh gubernur dan
bupati/walikota sesuai dengan lingkup kewenangannya.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal24
Cukup jelas.
Pasal25
Cukup jelas.
PRESIUEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf a
Yang dimaksud dengan masyarakat rentan bencana adalah
anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena
keadaan yang di sandangnya di antaranya masyarakat lanjut
usia, penyandang cacat, anak-anak, serta ibu hamil dan
menyusui.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal29
Cukup jelas.
.- Pasal30
Cukup jelas.
Pasal 3 1
Cukup Jelas.
Pasal 32
Cukup Jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 33
Cukup Jelas.
Pasal34
Cukup Jelas.
Pasal35
Huruf a
Cukup jeias.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "analisis risiko bencana" adalah kegiatan
penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan
terjadinya bencana.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal39
Cukup jelas.
Pasal40
Ayat ( 1
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan pernbangunan yang rnempunyai
risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pernbangunan
yang memungkinkan terjadinya bencnna, antara lain pengeboran
rninyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah,
eksplorasi tanibang, dan pembabatan hutan.
Pasal4 1
Cukup jelas.
Pasal42
Cukup j elas.
Pasal43
Cukup jelas.
Pasal44
Cukup jelas.
Pasal45
Cukup j elas.
Pasal46
Cukup jelas.
Pasal47
Cukup jelas.
Pasal48
Cukup jelas.
Pasal49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 5 1
Cukup jelas.
Pasal 52 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal52
Cukup jelas.
Pasal53
Cukup jelas.
Pasal54
Cukup j elas.
Pasal55
Cukup jelas.
Pasal56
Cukup jelas.
Pasal57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal60
Cukup jelas.
Pasal 6 1
Cukup jelas.
Pasal62
Cukup jelas.
PasaI63
Cukup jelas.
Pasal 64
Yang dimaksud dengan "kegiatan keantariksaan" adalah kegiatan yang
berkaitan dengan ruang angkasa yang menimbulkan bencana, antara
lain, peluncuran satelit dan eksplorasi ruang angkasa.
Pasal65
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
Pasal66
Cukup j elas.
Pasal67
Cukup jelas.
Pasal68
Cukup j elas.
Pasal69
Cukup jelas.
Pasal70
Cukup jelas.
Pasal7 1
Cukup jelas.
Pasal72
Cukup j elas.
Pasal73
Cukup jelas.
Pasal74
Cukup jelas.
Pasal75
Cukup jelas.
Pasal76
Cukup jelas.
Pasal77
Cukup jelas,
Pasal78
Cukup jelas.
Pasal79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup j elas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal8 1
Cukup j elas.
Pasal82
Cukup jelas.
Pasal83
Cukup jelas.
Pasal84
Cukup jelas.
Pasal85
Cukup jelas.
TAMB&AN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4723